
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 merupakan regulasi terbaru yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka memperkuat pengawasan terhadap kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Salah satu poin utama dalam peraturan ini adalah penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak bagi PKP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa hanya wajib pajak yang patuh dapat menggunakan haknya dalam menerbitkan Faktur Pajak. (Simak Selengkapnya: Menjaga Kepatuhan Pajak, Apakah Konsultan Pajak Penting?)
Penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak memiliki dasar hukum yang kuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menonaktifkan akses tersebut bagi PKP yang tidak menjalankan kewajibannya. Dengan diterbitkannya PER-19/PJ/2025, kewenangan ini dilengkapi dengan kriteria yang lebih jelas dan prosedur administratif yang terstruktur. Berikut ini 6 kriteria Faktur Pajak dinonaktifkan sebagai berikut:
Pertama, penonaktifan akses Faktur Pajak adalah apabila PKP tidak melakukan kewajiban sebagai pemotong atau pemungut pajak untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dilakukan, selama 3 bulan berturut-turut. Artinya, bila PKP berstatus sebagai pemotong PPh Pasal 21, 23, atau 26, tetapi tidak melaksanakan kewajiban pemotongan dan pelaporannya selama 3 bulan, maka akses pembuatan Faktur Pajak dapat dinonaktifkan. Kriteria ini menegaskan pentingnya peran PKP dalam memotong pajak pihak lain sebagai bagian dari sistem self-assessment.
Kedua, ketidakpatuhan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Apabila PKP tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menjadi kewajibannya, maka DJP berhak menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak. SPT Tahunan menjadi salah satu instrumen utama pelaporan kepatuhan pajak tahunan, sehingga kelalaian dalam penyampaian SPT ini mencerminkan tingkat ketidakpatuhan yang signifikan.
Ketiga, tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama 3 bulan berturut-turut. PKP yang tidak melaporkan SPT Masa PPN selama 3 masa berturut-turut akan dianggap tidak patuh, sehingga akses pembuatan Faktur Pajak dapat dinonaktifkan.
Keempat, tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama 6 masa dalam setahun.Selain tiga bulan berturut-turut, penonaktifan juga dapat dilakukan jika PKP tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk 6 masa pajak dalam 1 tahun kalender, meskipun tidak berurutan. Ketentuan ini bertujuan menjaga kontinuitas pelaporan PPN dan memastikan bahwa transaksi kena pajak tercatat dengan benar.
Kelima, ketidakpatuhan dalam melaporkan bukti potong atau bukti pungut pajak. Jika PKP tidak melaporkan bukti potong atau pungut selama 3 bulan berturut-turut, maka hal ini menjadi dasar penonaktifan akses Faktur Pajak. Ketentuan ini mendorong PKP untuk lebih disiplin dalam proses administrasi perpajakan, khususnya dalam pelaporan data pemotongan dan pemungutan pajak.
Keenam, adanya tunggakan pajak dalam jumlah besar. PKP yang memiliki tunggakan pajak minimal Rp250 juta (bagi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama) atau minimal Rp1 miliar (bagi yang terdaftar di KPP selain Pratama) dapat dikenai penonaktifan akses Faktur Pajak. Namun, ketentuan ini hanya berlaku jika PKP telah mendapatkan surat teguran dan tidak memiliki surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran yang masih berlaku.
Pelaksanaan kewenangan penonaktifan akses Faktur Pajak tidak dilakukan langsung oleh Direktorat Jenderal Pajak pusat, melainkan melalui pelimpahan mandat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Hal ini memberikan fleksibilitas sekaligus mempercepat proses pengawasan dan penegakan hukum di tingkat operasional. Setiap KPP memiliki kewenangan untuk menonaktifkan atau mengaktifkan kembali akses Faktur Pajak berdasarkan hasil evaluasi kepatuhan PKP.
Sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wajib pajak, PER-19/PJ/2025 juga memberikan hak klarifikasi kepada PKP yang aksesnya dinonaktifkan. PKP dapat mengajukan surat klarifikasi secara tertulis kepada Kepala KPP dengan melampirkan bukti-bukti kepatuhan, seperti tanda terima penyampaian SPT, bukti pemotongan atau pemungutan pajak, maupun bukti pelunasan tunggakan. Klarifikasi ini merupakan sarana bagi PKP untuk membuktikan bahwa penonaktifan dilakukan secara keliru atau bahwa kewajiban perpajakan telah dipenuhi.
Kepala KPP memiliki waktu maksimal lima hari kerja untuk meneliti dan memberikan keputusan atas klarifikasi yang diajukan. Bila dalam jangka waktu tersebut KPP belum menentukan hasil klarifikasi, maka sistem secara otomatis akan mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini menunjukkan adanya perlindungan administratif bagi wajib pajak agar tidak dirugikan akibat keterlambatan proses birokrasi.
Namun demikian, jika setelah lima hari kerja sejak pengaktifan kembali PKP masih memenuhi kriteria penonaktifan, maka KPP berwenang menonaktifkan kembali akses Faktur Pajak. Melalui mekanisme ini, DJP memastikan keseimbangan antara hak wajib pajak untuk beroperasi dan kewajiban mereka untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan.
Peraturan ini menegaskan bahwa pengaktifan kembali akses Faktur Pajak hanya dapat dilakukan sepanjang PKP tidak terkena penonaktifan berdasarkan ketentuan lain yang berkaitan dengan penanganan Faktur Pajak tidak sah. Oleh karena itu, penonaktifan akses dapat terjadi baik karena alasan ketidakpatuhan administratif maupun karena indikasi penyalahgunaan Faktur Pajak dalam transaksi fiktif.




